Kamis, 30 Mei 2013

HUJAN DI UJUNG SENJA



Aku menatap rintik  hujan yang membasahi jendela kamarku. Menghasilkan  embun di sekujur kaca. Ku sentuh embun itu. Sedikit bergidik ketika dingin merayapi ujung jariku. Kuukirkan namaku di sana. Sempat kukagumi sejenak. Sebelum akhirnya lenyap tersapu embun yang lain.
“Inggit,” sapa sebuah suara yang tak lagi asing di telingaku.
“Ibu,” aku berpaling dari kaca jendela dan menatap ibu.
Ia tersenyum padaku. Gurat-gurat tipis menghiasi wajahnya. Membuat ibu tampak lebih tua dari umur sebenarnya.
Aku beringsut mendekati ibu. Kuseret kakiku dengan kepayahan. Aku memang tak seperti  kebanyakan orang pada umumnya. Aku istimewa, begitu yang selalu ibu ucapkan padaku.  Aku tak bisa berjalan apalagi berlari. Bahkan berdiri dengan kedua kakiku pun menjadi hal yang sangat mustahil.  Aku memang punya kaki, tapi keduanya tak berfungsi lagi. Seakan-akan mereka hanyalah hiasan atau pelengkap.
Yah…setidaknya aku masih punya tangan yang normal. Sehingga aku bisa berjalan atau lebih tepatnya berpindah tempat dengan mengandalkan kedua tanganku.  Sampai-sampai kulit pada kedua telapak tanganku mengelupas.
Aku terserang polio. Pada umur 8 tahun kakiku lumpuh total. Orangtuaku tak mampu berbuat apa-apa. Mereka bukan  orang berada. 
Aku tak begitu tampak menderita. 10 tahun bukan waktu yang sebentar. Cukup untuk membuatku terbiasa dengan cara hidup seperti ini. Aku bahkan tak bisa mengingat bagaimana rasanya dapat berlari dengan kedua kakiku.
“Inggit pijat ya, Bu!” Aku menggapai bahu ibu. Memijat-mijatnya pelan. Bermaksud mengurangi kelatihan ibu setelah seharian berkutat dengan pembeli dan hingar-bingar pasar. Atau bermaksud mengurangi rasa bersalahku. Karena aku, anak sulungnya, tak mampu banyak membantu mengurangi beban keluarga. Tragisnya, aku malah cenderung menambah beban keluarga dengan keadaan fisikku ini.
Pintu rumah terbuka, diikuti oleh suara riang adikku. Rumah ini begitu kecil. Sehingga suara seperti apapun dapat terdengar dengan mudahnya.
Anggit masuk ke dalam kamar. Ia membanting tasnya ke tempat tidur. Ia sekamar denganku. Selain karena di rumah ini memang hanya ada dua kamar, juga karena aku memang agak kesulitan jika harus tidur sendirian.
Aku dan Anggit  hanya terpaut tiga tahun. Kami memang kakak beradik.  Lahir dari rahim yang sama, dibesarkan dalam rumah yang sama. Namun tampak  begitu berbeda. Anggit cantik, tinggi, pintar dan punya banyak teman. Dan yang terpenting ia baik-baik saja. Tidak cacat seperti aku. Kuakui, tak jarang aku merasa iri padanya. Kadang aku bahkan bertanya entah pada siapa. Kenapa harus aku? Ada banyak orang di dunia ini, tapi mengapa justru aku yang terpilih?
“Besok temanku mau main ke sini.”ucap Anggit dengan nada mengambang. Ada sedikit getir yang tertangkap dalam suaranya.
Ia tak sepenuhnya menatapku.  Hanya sudut matanya yang sekilas melirikku. Aku mengerti apa maksud perkataannya. Anggit tak ingin aku menampakkan diri di hadapan teman-temannya saat mereka datang besok. Karena itu  akan membuatnya malu.
Pernah suatu kali ketika SMP,  teman Anggit datang ke rumah.  Saat itu mereka melihatku dengan segala kekuranganku ini. Esoknya, Anggit pulang sambil menangis.  ia dihina teman-temanya di sekolah. Mereka mengatakan Anggit memiliki kakak seperti suster ngesot. Selama beberapa hari Anggit bahkan tak mau bicara padaku. Aku tahu, ia menyalahkanku.
Jujur, aku sangat sakit hati. Bagaimana mungkin adik kandungku malu memiliki kakak seperti aku. Tapi aku tak pernah menampakkannya.  Hanya akan menambah luka di hati.
****
            Hujan turun lagi. Seperti biasa, aku mengagumi setiap tetesannya dari balik jendela. Tapi aku tak begitu memusatkan perhatianku pada hujan itu terlalu lama. Aku kembali berkutat  pada jerami-jerami di pangkuanku. Menganyamnya satu persatu. Membentuknya menjadi hamparan tikar.
            Hasinya memang tak banyak. Namun dapat membantu perekonomian keluarga. Sejak bapak meninggal, semua jadi terasa lebih berat.
            Aku memang pernah bersekolah. Hanya samapi kelas 2 SD. Pertengahan tahun aku berhenti, karena…yah tahulah.  Setidaknya aku bisa membaca dan menulis. Tapi itu tak cukup untuk mencari pekerjaan di zaman sekarang. Ditambah dengan kondisi fisikku yang memang  istimewa.
            Aku mendengar suara cekikikan dari ruang tamu. Suara Anggit dan teman-temannya. Kadang-kadang aku ikut tertawa mendengar lelucon yang mereka lontarkan. Tentu saja dengan suara yang sangat pelan. Aku tak ingin mereka mendengarnya.
            Kembali rasa irii menyusup di hatiku. Aku tak pernah tahu bagaimana rasanya jalan-jalan dengan teman. Berbincang-bincang tentang pelajaran, film, cowok, atau sesuatu yang mereka sebut denga fashion.
            Aku tak mengingkari bahwa aku juga punya teman. Yu Sumi dan Yu tarmi. 2 orang sesama buruh penganyam tikar di tempat juragan Darso. Tapi mereka lebih tua beberapa tahun dariku. Sehingga pembicaraan kami sering tidak nyambung. Kerena yang mereka bicarakan tak lebih dari urusan rumah tangga, anak-anak, dan suami mereka.
            Anyaman tikar hampir selesai. Namun hujan tak juga berhenti.
****
            Jalanan becek. Akibat hujan kemarin sore. Aku merasakan basah dan dingin pada bagian bawah tubuhku ketika aku menyeret tubuhku. Ini memang buruk. Tapi tak lebih buruk dibandingkan jika cuaca terik. Sekujur tubuhku akan terasa tersengat dan tak urung kaki dan tanganku lecet-lecet.            
            Hari sudah menjelang siang. Aku harus mempercepat perjalananku menuju rumah juragan Darso. Untuk menganyam tikar tentunya. Aku tahu benar. Juragan Darso bukan sosok yang ramah. Ia tak segan-segan memarahi pegawainya yang datang terlambat. Bahkan tak jarang menjadikan gaji sebagai pelampiasan. Dan aku tak mau itu.
            Memang jarak rumahku dan rumah juragan Darso tak begitu jauh. Namun dengan kondisiku yang seperti ini, bukan hal yang mudah untuk cepat sampai.
            Di tengah jalan, seorang ibu setengah baya yang tak kuingat pernah mengenalnya menyodorkan selembar uang ribuan padaku.  Sesaat aku terpana. Tak menangkap apa maksudnya. Namun ia tergesa pergi. Tak memberi kesempatan padaku untuk bertanya atau menolak.
            Aku mendesah. Pastilah ia mengira aku ini seorang pengemis. Aku tak menyalahkannya. Tampang kuyu, penampilan lusuh, wajah memelas ditambah lagi cacat dalam diriku. Tak heran jika orang menyangka aku ini seorang peminta-peminta. Yah, sudahlah. Lumayan. Tak baik menolak rejeki.
            Suara tangis anak kecil membuyarkan lamunanku. Aku ingat benar anak itu. Aku memang tak tahu namanya, tapi yang aku tahu ia selalu menangis ketika melihatku. Aku tak yakin apa pada diriku yang membuatnya menangis ketakutan seperti itu. Wajahku, kakiku, ekspresiku, ataukah caraku berjalan? Atau mungkin semuanya menjadi kesatuan yang patut untuk ditakuti.
            Asri mendekati anak itu. Dibelai-belainya rambut adiknya. Mencoba menenangkan tangis adiknya yang memekakkan telinga. Asri menatpku gusar. Merasa tak enak padaku.  Aku hanya tersenyum getir pada teman SDku itu. Mengisyaratkan bahwa aku baik-baik saja. Hatiku sudah terlanjur kebal dengan segala perlakuan orang padaku.
****
            Juragan Darso memujiku karena hasil kerjaku yang ia bilang cukup memuaskan. Itu membuatku luput dari amrahnya karena keterlambatanku yang hampir tak disadari itu. Aku tersenyum puas. Itu menunjukkan bahwa aku bukanlah orang yang tak bisa berbuat apa-apa. Sejenak aku bersyukur. Walaupun kakiku lumpuh, aku masih memiliki tangan yang sehat.
            “ Beruntung kamu, Nggit. Aku saja yang berahun-tahun bekerja di sini jarang-jarang dipuji sama juragan. Bahkan bisa dikatakan tak pernah.”  Ujar Yu Sumi. Entah bermaksud memuji atau justru menyindirku.
            “Ya bagus itu. Siapa tahu, kamu semakin ahli dan bisa memulai usaha sendiri.” Yu Tarmi ikut manimpali. Matanya tak lepas dari jerami-jerami di tangannya.
            “Wah, jangan terlalu dibesarkan-besarkan dong, Yu.” Aku sedikit tersipu.
            “Ya kita kan boleh aja to berangan-angan” Yu Tarmi menambahkan.
Aku terdiam sejenak. Angan-angan? Aku selalu berangan-angan. Tapi  tetap menjadi angan-angan belaka.
            “Kalau begitu, aku boleh berangan-angan bisa sekolah lagi nggak Yu?” paparku sekonyong-konyong.
            Yu Tarmi dan Yu Sumi menatapku serempak. Ekspresi mereka sekan-akan menunjukkan aku ini orang yang tidak waras. Aku tersenyum getir. Sangat getir. Aku tak menggubris komentar kedua temanku itu yang nyaris tak dapat kucerna di otakku. Aku memusatkan perhatian pada jerami yang menanti .
****
            Hujan deras mengguyur bumi. Angin yang bertiup kencang menampar-nampar daun jendela kamarku. Air hujan yang terbawa angin memercik ke wajahku.Ku tutup rapat jendela kamarku. Walaupun aku tahu, ini tak cukup tangguh untuk menghalangi air masuk ke dalam rumah mungilku.
            Aku meraih seragam Anggit yang dibiarkannya teronggok di  sudut tempat tidur. Bermaksud meletakkanya ke ember cucian. Tapi  kemudian kuurungkan niatku. Aku malah tegoda untuk terus memegangnya. Memperhatikan setiap detil baju itu. Kukagumi sejenak. Membayangkan betapa menyenangkannya memakai seragam putih abu-abu dan mengalami kehidupan remaja yang penuh warna. Dan terutama hidup normal.
            Ini benar-benar membuat keinginanku untuk sekolah semakin kuat. Dalam sekejap hatiku melambung lalu terjatuh lagi. terjatuh oleh kenyataan bahwa aku tak mungkin mewujudlan keinginanku yang satu ini.
            Aku meletakkan kembali seragam Anggit. Mendadak berubah kecut.
            Terpaku oleh lamunanku, aku nyaris tak menyadari bahwa hujan telah menyurut. Tak kudengan lagi desis hujan yang lembut membuai. Aku membuka jendela. Seketika kurasakan angin dingin menerpa kulitku.
            Aku mengalihkan pandangan pada langit yang dipenuhi awan. Masih tersisa bias-bias hitam namun justru terkesan romantis. Perlahan semburat pelangi menampakkan biasnya yang samar tertangkap mata. Aku menghela napas. Aku tak boleh tenggelam dalam kesedihan. Mengutuk takdirku. Karena hujan tak selamannya. Akan reda dan berganti dengan pelangi.
            Tuhan pasti punya rencana lain untukku. Bukankah aku ini istimewa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar