Aku
menatap rintik hujan yang membasahi
jendela kamarku. Menghasilkan embun di
sekujur kaca. Ku sentuh embun itu. Sedikit bergidik ketika dingin merayapi
ujung jariku. Kuukirkan namaku di sana .
Sempat kukagumi sejenak. Sebelum akhirnya lenyap tersapu embun yang lain.
“Inggit,”
sapa sebuah suara yang tak lagi asing di telingaku.
“Ibu,”
aku berpaling dari kaca jendela dan menatap ibu.
Ia
tersenyum padaku. Gurat-gurat tipis menghiasi wajahnya. Membuat ibu tampak
lebih tua dari umur sebenarnya.
Aku
beringsut mendekati ibu. Kuseret kakiku dengan kepayahan. Aku memang tak
seperti kebanyakan orang pada umumnya.
Aku istimewa, begitu yang selalu ibu ucapkan padaku. Aku tak bisa berjalan apalagi berlari. Bahkan
berdiri dengan kedua kakiku pun menjadi hal yang sangat mustahil. Aku memang punya kaki, tapi keduanya tak
berfungsi lagi. Seakan-akan mereka hanyalah hiasan atau pelengkap.
Yah…setidaknya
aku masih punya tangan yang normal. Sehingga aku bisa berjalan atau lebih
tepatnya berpindah tempat dengan mengandalkan kedua tanganku. Sampai-sampai kulit pada kedua telapak
tanganku mengelupas.
Aku
terserang polio. Pada umur 8 tahun kakiku lumpuh total. Orangtuaku tak mampu
berbuat apa-apa. Mereka bukan orang
berada.
Aku
tak begitu tampak menderita. 10 tahun bukan waktu yang sebentar. Cukup untuk
membuatku terbiasa dengan cara hidup seperti ini. Aku bahkan tak bisa mengingat
bagaimana rasanya dapat berlari dengan kedua kakiku.
“Inggit
pijat ya, Bu!” Aku menggapai bahu ibu. Memijat-mijatnya pelan. Bermaksud
mengurangi kelatihan ibu setelah seharian berkutat dengan pembeli dan
hingar-bingar pasar. Atau bermaksud mengurangi rasa bersalahku. Karena aku,
anak sulungnya, tak mampu banyak membantu mengurangi beban keluarga. Tragisnya,
aku malah cenderung menambah beban keluarga dengan keadaan fisikku ini.
Pintu
rumah terbuka, diikuti oleh suara riang adikku. Rumah ini begitu kecil.
Sehingga suara seperti apapun dapat terdengar dengan mudahnya.
Anggit
masuk ke dalam kamar. Ia membanting tasnya ke tempat tidur. Ia sekamar
denganku. Selain karena di rumah ini memang hanya ada dua kamar, juga karena
aku memang agak kesulitan jika harus tidur sendirian.
Aku
dan Anggit hanya terpaut tiga tahun.
Kami memang kakak beradik. Lahir dari
rahim yang sama, dibesarkan dalam rumah yang sama. Namun tampak begitu berbeda. Anggit cantik, tinggi, pintar
dan punya banyak teman. Dan yang terpenting ia baik-baik saja. Tidak cacat
seperti aku. Kuakui, tak jarang aku merasa iri padanya. Kadang aku bahkan
bertanya entah pada siapa. Kenapa harus aku? Ada banyak orang di dunia ini, tapi mengapa
justru aku yang terpilih?
“Besok
temanku mau main ke sini.”ucap Anggit dengan nada mengambang. Ada sedikit getir yang tertangkap dalam
suaranya.
Ia
tak sepenuhnya menatapku. Hanya sudut
matanya yang sekilas melirikku. Aku mengerti apa maksud perkataannya. Anggit
tak ingin aku menampakkan diri di hadapan teman-temannya saat mereka datang
besok. Karena itu akan membuatnya malu.
Pernah
suatu kali ketika SMP, teman Anggit
datang ke rumah. Saat itu mereka
melihatku dengan segala kekuranganku ini. Esoknya, Anggit pulang sambil
menangis. ia dihina teman-temanya di
sekolah. Mereka mengatakan Anggit memiliki kakak seperti suster ngesot. Selama
beberapa hari Anggit bahkan tak mau bicara padaku. Aku tahu, ia menyalahkanku.
Jujur,
aku sangat sakit hati. Bagaimana mungkin adik kandungku malu memiliki kakak
seperti aku. Tapi aku tak pernah menampakkannya. Hanya akan menambah luka di hati.
****
Hujan turun lagi. Seperti biasa, aku
mengagumi setiap tetesannya dari balik jendela. Tapi aku tak begitu memusatkan
perhatianku pada hujan itu terlalu lama. Aku kembali berkutat pada jerami-jerami di pangkuanku.
Menganyamnya satu persatu. Membentuknya menjadi hamparan tikar.
Hasinya memang tak banyak. Namun
dapat membantu perekonomian keluarga. Sejak bapak meninggal, semua jadi terasa
lebih berat.
Aku memang pernah bersekolah. Hanya
samapi kelas 2 SD. Pertengahan tahun aku berhenti, karena…yah tahulah. Setidaknya aku bisa membaca dan menulis. Tapi
itu tak cukup untuk mencari pekerjaan di zaman sekarang. Ditambah dengan
kondisi fisikku yang memang istimewa.
Aku mendengar suara cekikikan dari
ruang tamu. Suara Anggit dan teman-temannya. Kadang-kadang aku ikut tertawa
mendengar lelucon yang mereka lontarkan. Tentu saja dengan suara yang sangat
pelan. Aku tak ingin mereka mendengarnya.
Kembali rasa irii menyusup di
hatiku. Aku tak pernah tahu bagaimana rasanya jalan-jalan dengan teman.
Berbincang-bincang tentang pelajaran, film, cowok, atau sesuatu yang mereka
sebut denga fashion.
Aku tak mengingkari bahwa aku juga
punya teman. Yu Sumi dan Yu tarmi. 2 orang sesama buruh penganyam tikar di
tempat juragan Darso. Tapi mereka lebih tua beberapa tahun dariku. Sehingga
pembicaraan kami sering tidak nyambung. Kerena yang mereka bicarakan tak lebih
dari urusan rumah tangga, anak-anak, dan suami mereka.
Anyaman tikar hampir selesai. Namun
hujan tak juga berhenti.
****
Jalanan becek. Akibat hujan kemarin
sore. Aku merasakan basah dan dingin pada bagian bawah tubuhku ketika aku
menyeret tubuhku. Ini memang buruk. Tapi tak lebih buruk dibandingkan jika
cuaca terik. Sekujur tubuhku akan terasa tersengat dan tak urung kaki dan
tanganku lecet-lecet.
Hari sudah menjelang siang. Aku
harus mempercepat perjalananku menuju rumah juragan Darso. Untuk menganyam
tikar tentunya. Aku tahu benar. Juragan Darso bukan sosok yang ramah. Ia tak
segan-segan memarahi pegawainya yang datang terlambat. Bahkan tak jarang
menjadikan gaji sebagai pelampiasan. Dan aku tak mau itu.
Memang jarak rumahku dan rumah
juragan Darso tak begitu jauh. Namun dengan kondisiku yang seperti ini, bukan
hal yang mudah untuk cepat sampai.
Di tengah jalan, seorang ibu
setengah baya yang tak kuingat pernah mengenalnya menyodorkan selembar uang ribuan
padaku. Sesaat aku terpana. Tak
menangkap apa maksudnya. Namun ia tergesa pergi. Tak memberi kesempatan padaku
untuk bertanya atau menolak.
Aku mendesah. Pastilah ia mengira
aku ini seorang pengemis. Aku tak menyalahkannya. Tampang kuyu, penampilan
lusuh, wajah memelas ditambah lagi cacat dalam diriku. Tak heran jika orang
menyangka aku ini seorang peminta-peminta. Yah, sudahlah. Lumayan. Tak baik
menolak rejeki.
Suara tangis anak kecil membuyarkan
lamunanku. Aku ingat benar anak itu. Aku memang tak tahu namanya, tapi yang aku
tahu ia selalu menangis ketika melihatku. Aku tak yakin apa pada diriku yang
membuatnya menangis ketakutan seperti itu. Wajahku, kakiku, ekspresiku, ataukah
caraku berjalan? Atau mungkin semuanya menjadi kesatuan yang patut untuk
ditakuti.
Asri mendekati anak itu.
Dibelai-belainya rambut adiknya. Mencoba menenangkan tangis adiknya yang
memekakkan telinga. Asri menatpku gusar. Merasa tak enak padaku. Aku hanya tersenyum getir pada teman SDku itu.
Mengisyaratkan bahwa aku baik-baik saja. Hatiku sudah terlanjur kebal dengan
segala perlakuan orang padaku.
****
Juragan Darso memujiku karena hasil
kerjaku yang ia bilang cukup memuaskan. Itu membuatku luput dari amrahnya
karena keterlambatanku yang hampir tak disadari itu. Aku tersenyum puas. Itu
menunjukkan bahwa aku bukanlah orang yang tak bisa berbuat apa-apa. Sejenak aku
bersyukur. Walaupun kakiku lumpuh, aku masih memiliki tangan yang sehat.
“ Beruntung kamu, Nggit. Aku saja
yang berahun-tahun bekerja di sini jarang-jarang dipuji sama juragan. Bahkan bisa
dikatakan tak pernah.” Ujar Yu Sumi.
Entah bermaksud memuji atau justru menyindirku.
“Ya bagus itu. Siapa tahu, kamu
semakin ahli dan bisa memulai usaha sendiri.” Yu Tarmi ikut manimpali. Matanya
tak lepas dari jerami-jerami di tangannya.
“Wah, jangan terlalu
dibesarkan-besarkan dong, Yu.” Aku sedikit tersipu.
“Ya kita kan boleh aja to berangan-angan” Yu Tarmi
menambahkan.
Aku
terdiam sejenak. Angan-angan? Aku selalu berangan-angan. Tapi tetap menjadi angan-angan belaka.
“Kalau begitu, aku boleh
berangan-angan bisa sekolah lagi nggak Yu?” paparku sekonyong-konyong.
Yu Tarmi dan Yu Sumi menatapku
serempak. Ekspresi mereka sekan-akan menunjukkan aku ini orang yang tidak
waras. Aku tersenyum getir. Sangat getir. Aku tak menggubris komentar kedua
temanku itu yang nyaris tak dapat kucerna di otakku. Aku memusatkan perhatian
pada jerami yang menanti .
****
Hujan deras mengguyur bumi. Angin
yang bertiup kencang menampar-nampar daun jendela kamarku. Air hujan yang terbawa
angin memercik ke wajahku.Ku tutup rapat jendela kamarku. Walaupun aku tahu,
ini tak cukup tangguh untuk menghalangi air masuk ke dalam rumah mungilku.
Aku meraih seragam Anggit yang
dibiarkannya teronggok di sudut tempat
tidur. Bermaksud meletakkanya ke ember cucian. Tapi kemudian kuurungkan niatku. Aku malah tegoda
untuk terus memegangnya. Memperhatikan setiap detil baju itu. Kukagumi sejenak.
Membayangkan betapa menyenangkannya memakai seragam putih abu-abu dan mengalami
kehidupan remaja yang penuh warna. Dan terutama hidup normal.
Ini benar-benar membuat keinginanku
untuk sekolah semakin kuat. Dalam sekejap hatiku melambung lalu terjatuh lagi.
terjatuh oleh kenyataan bahwa aku tak mungkin mewujudlan keinginanku yang satu
ini.
Aku meletakkan kembali seragam
Anggit. Mendadak berubah kecut.
Terpaku oleh lamunanku, aku nyaris
tak menyadari bahwa hujan telah menyurut. Tak kudengan lagi desis hujan yang
lembut membuai. Aku membuka jendela. Seketika kurasakan angin dingin menerpa
kulitku.
Aku mengalihkan pandangan pada
langit yang dipenuhi awan. Masih tersisa bias-bias hitam namun justru terkesan
romantis. Perlahan semburat pelangi menampakkan biasnya yang samar tertangkap
mata. Aku menghela napas. Aku tak boleh tenggelam dalam kesedihan. Mengutuk takdirku.
Karena hujan tak selamannya. Akan reda dan berganti dengan pelangi.
Tuhan pasti punya rencana lain
untukku. Bukankah aku ini istimewa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar