Kamis, 30 Mei 2013

PECUNDANG DALAM DIRIKU


Sejenak aku membisu
Bibirku tak mampu terkuak, meskipun aku tahu,
Aku pun mulai menutup telinga
Tak ingin mendengar apapun
Memang beginilah aku
Karena ada
Pecundang dalam diriku...

Malam telah larut. Kesunyiannya menghadirkan perasaan yang mencekam. Membuatku merasa merinding dan tak nyaman. Mobilku melesat menyusuri jalanan yang gelap dan licin. Jalanan saat itu benar-benar sepi. Tentu saja, ini sudah terlalu larut untuk seseorang berkeliaran di luar rumah.
Sore tadi hujan deras mengguyur bumi. Menyisakan malam yang dingin dan basah. Bibirku bersenandung mengikuti lagu dari radio yang sedari tadi menemani perjalananku. Setidaknya itu membuat tubuhku sedikit hangat dan mengusir kengerian di hatiku.
Ku percepat laju mobilku. Ingin secepatnya sampai di rumah. Ingin segera meringkuk di kasurku yang hangat. Dan lagi, aku juga tak mau ayah marah karena aku pulang terlalu larut. Aku ingat terakhir kali ayah marah padaku. Ia menghukumnku dengan melarangku keluar rumah selama 1 bulan. Kecuali sekolah dan les, tentunya. Dan kuakui itu sungguh-sungguh tak mengenakkan.
Aku terlalu sibuk dengan pikiranku, sehingga tak menyadari seseorang tengah menyeberang. Begitu dekat. Aku tahu tak kan sempat menghentikan mobilku saat ini. Tapi tetap ku injak juga remku. Menimbulkan suara berdecit tajam.
Aku memejamkan mataku. Terlalu takut untuk melihat kejadian selanjutnya. Tanganku tak juga berhenti gemetaran. Namun aku dapat mendengar dengan jelas suara berdebam keras dan jerit pilu yang membuatku bergidik.

***
Aku tersentak. Terjaga dari mimpiku. Entah sejak kapan keringat dingin mulai membasahi tubuhku.
Wajah itu, darah itu. Terasa jelas tergambar di otakku. Aku akan sangat bersyukur jika itu hanya sebuah mimpi. Dan ketika aku bangun semua akan usai. Namun itu kenyataan. Begitu nyata dan terjadi padaku.
Aku menuruni tempat tidur. Memasuki kamar mandi dan membasuh mukaku. Kurasakan kesejukan menyusupi kulit ketika air dingin menerpa wajahku. Aku benar-benar berharap air itu dapat mengguyur dan membawa pergi noda di dalam diriku, ketakutanku dan rasa bersalahku.
Aku menatap pantulan wajahku di cermin. Masih sama seperti ketika terakhir kali aku melihatnya. Tapi kini aku merasa diriku benar-benar kotor dan hina.
”kamu pembunuh, Riana! Pembunuh!”
Entah bayangan diriku di cermin ataukah hanya perasaanku saja, aku mendengar suara menggema di kepalaku. Begitu jelas, menuduhku.
”Bukan! Aku bukan pembunuh!” aku mencoba membela diriku. Tak jelas berkata pada siapa.
”Iya, kamu pembunuh! Pembunuh yang melarikan diri. Pengecut!” suara itu kembali menghujatku.
” Tidak! Tidak! Aku tidak sengaja. Orang itu yang melompat ke arah mobilku. Aku bukan pembunuh! Bukan!” aku terus berteriak. Berharap akan ada seseorang yang mendengar dan membenarkan perkataanku.

***
Aku menuruni tangga dengan cepat. Menuju ruang makan. Tempat dimana kedua orangtuaku tengah menunggu, seperti biasanya.
”Pagi Ayah, Ibu!” sapaku tak semangat. Terus terang aku masih merasa sedikit mengantuk. Karena aku tak jua dapat memejamkan mataku kembali sejak terjaga dari mimpi itu.
Aku mencoba bersikap baik-baik saja di hadapan orangtuaku. Aku tak ingin mereka mengetahui kejadian tadi malam. Memang aku telah membersihkan mobilku dari percikan darah semalam. Tapi seberapapun coba kupungkiri, aku tetap merasa gugup. Walau bagaimanapun juga aku kini tengah duduk berhadapan dengan seorang polisi yang tak lain adalah ayahku sendiri.
”Kau baik-baik saja, Riana?” tanya ibu yang agak aneh melihatku tingkahku yang tak biasa.
”Tidak apa-apa, Ibu. Aku hanya sedikit gugup menghadapi ulangan hari ini.”
”Makanya, kalo pulang jangan terlalu malam. Kau tahu, tadi malam ada kasus tabrak lari di jalan Veteran.” ucap ayah.
Aku tersedak. Nasi yang sempat ku makan nyaris keluar kembali.
”Aduh, Riana. Kalau makan pelan-pelan, dong!” ibu menyodorkan segelas minuman yang langsung kutenggak demi meredakan batuk-batukku.
”Apa orang yang ditabrak itu baik-baik saja, yah?” tanyaku tanpa mampu menutupi suaraku yang bergetar.
Sejenak ayah terdiam. Membuatku semakin tak tenang. Kemudian ia menjawab pelan, “Dia tewas. Meninggalkan istri dan tiga orang anak. Kasihan, padahal mereka bukan orang yang berada.”
Ucapan ayah membuatku semakin miris. Aku tahu, mustahil selamat dengan tabrakan keras seperti tadi malam. aku menggigit bibir bawahku. walaupun secara tak langsung, ayah baru saja mengatakan bahwa penabrak itu sangat keji. Andai ayah dan ibu tahu itu adalah aku. Aku tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi.
”Apa ada saksi dalam tabrak lari itu, Yah?” aku kembali bertanya. Agak takut dan gugup.
”Sejauh ini tidak ada. Karena kejadiannya malam hari, dan jalan itu juga sepi. Itulah yang membuat kami kesulitan mencari pelakunya.”
Mungkin aku terdengar jahat. Tapi jujur, aku merasa lega mendengarnya.
***
            Aku tercenung menatap wanita yang tengah berkutat dengan barang dagangannya. Ia nampak letih dan sayu. Lingkaran hitam menghiasi wajahnya. Aku yakin, umurnya tak setua kelihatannya.
Aku tahu, tak seharusnya aku datang ke sini. Hadir di hadapan orang yang suaminya telah aku tabrak sampai mati.
Sebenarnya aku ingin melupakan semuanya dan berpura-pura tak pernah terjadi apa-apa. Toh tak ada seorang pun yang tahu. Namun rasa bersalah terus menggelitiki hatiku dan membuatku datang kemari. Tentu saja setelah aku mengorek informasi dari ayah, sehingga aku tahu tempat ini. Setidaknya aku ingin memastikan keadaan mereka setelah kematian Pak Pardi., orang yang telah aku tabrak itu.
Bu Pardi tersenyum ketika menyadari kehadiranku. ”Rujak, Neng?” ia menawarkan.
”Iya.” ucapku spontan. Aku tak mau membuatnya kecewa. Walaupun sebenarnya, tanpa ia tahu aku telah membuatnya sangat kecewa.
Aku duduk di bangku kayu yang telah usang. Memandang anak-anak yang tengah berlarian di tanah lapang. Dalam hatiku bertanya, di antara mereka mana yang merupakan anak pak Pardi.
”Ini Neng, Rujaknya.”
”Iya, Bu. Terimakasih.” aku menerima rujak yang disodorkan oleh bu Pardi.
”Sudah lama jualan rujak, Bu?” tanyaku sembari melahap rujak di tanganku. Ku rasakan pedas merayapi lidahku. Membuat mataku sedikit berair.
”Baru saja kok, Neng. Dulunya saya hanya buruh cuci. Tapi ketika suami saya meninggal, saya berpikir untuk berjualan saja. Nggak cukup Neng, memenuhi kebutuhan dari hasil nyuci.” ujar bu Pardi tanpa tedeng aling-aling. Sedikit kesedihan terbersit dalam nada suaranya.
Aku terdiam. Perasaan bersalah semakin menghinggapi jiwaku.
Aku meletakkan piring di meja. Tak berminat lagi menyantap rujak itu. Aku merogoh uang lima puluh ribuan dari sakuku dan menyerahkannya pada bu Pardi.
”Aduh, Neng. Belum ada kembaliannya.” Bu Pardi tampak bingung.
”Nggak usah, Bu. Ambil saja.”
Bu pardi menggeleng. ”Jangan, Neng. Saya nggak berani”
”Nggak apa-apa, Bu. Saya ikhlas, kok.” aku berusaha membujuknya. Sejenak kulihat keraguan di mata bu Pardi. Sekali lagi ia melihat wajahku.
”Terimakasih banyak ya, Neng” ucapnya kemudian. Sempat kutemukan binar dalam matanya.
Aku mengangguk lemah. Andai saja ia tahu bahwa apa yang kuberikan tak sebanding dengan apa yang telah kulakukan.
***
Untuk kesekian kalinya aku duduk di bangku ini. Menikmati rujak yang sama. Sejujurnya aku tak suka begini. Harus selalu merasa ketakutan setiap kali melihat wajah bu Pardi. Takut jika ia akan tahu siapa aku sebenarnya. Tapi tanpa aku sadari, kakiku selalu melangkah kemari seusai sekolah.
”Apa Ibu marah pada orang yang telah menabrak suami Ibu?” tanyaku hati-hatiku. Bukannya bermaksud mengorek luka lama. Hanya sekedar ingin tahu.
Bu Pardi menghentikan aktivitasnya. Namun tak langsung menjawab. Lama ia hanya terdiam. Entah apa yang ia pikirkan.
”Awalnya saya memang merasa sangat kecewa. Mengapa ini semua harus terjadi pada keluarga kami. Apalagi sampai saat ini penabrak Mas Pardi  belum juga ditemukan. Tapi lama-lama, saya pikir ini sudah takdir. Mungkin memang seperti ini jalannya Mas Pardi kembali pada Gusti Allah. Anggap saja si penabrak itu sebagai jembatan. Tak ada yang perlu dipersalahkan. Ini sudah takdir yang MahaAgung.”
Aku menghela nafas. Salut aku. Betapa lapangnya hati Bu Pardi. Ia dapat menerima ini semua dengan begitu tabah.
Tapi bukannya merasa lega, aku malah semakin merasa bersalah. Ya Tuhan, apa yang harus ku perbuat?
***
Bu Pardi menatapku lekat. Wajah yang sama seperti yang selalu kutemui, sorot mata yang sama pula. Hanya sekarang suasananya berbeda. Kami tak lagi berjumpa di warung rujak Bu Pardi, tapi di sebuah Lembaga Permasyarakatan.
Ya. Aku telah mengatakan yang sebenarnya pada ayahku. Tentu saja. Walaupun dia ayahku, tak pelak ia juga seorang polisi. Dan kini aku harus menerima takdirku.
Setidaknya dengan begini aku sedikit bernafas lega. Terlepas dari rasa bersalah yang terus menggelayutiku. Meskipun itu berarti aku harus teronggok di bui yang suram dan pengap ini. Tak mengapa. Anggap saja ini sebagai konsekuensi dari apa yang ku perbuat.
Bu Pardi masih berdiri di hadapanku. Tak bergeming dari posisinya. Kami berdua sama-sama membisu.
Aku sendiri tak tahu harus berkata apa. Aku merasa malu sekali. Aku hanya menunggu reaksi bu Padi. Aku rela jika ia memang ingin mencelaku, memakiku. Karena ia memang berhak melakukannya dan aku memang pantas menerima itu semua.
Bibir bu Pardi mulai terkuak. Ia menatapku dalam.
”Kamu hebat, Nak” ucapnya kemudian.
Aku sedikit terkejut. Perkataan bu Pardi tak seperti yang ku sangka. Walaupun mungkin tak pantas, namun bolehkah aku menganggap itu sebagai suatu pujian?

                                                               Rumahku tercinta, Juni 2005. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar