Sejenak aku membisu
Bibirku tak mampu terkuak, meskipun aku tahu,
Aku pun mulai menutup telinga
Tak ingin mendengar apapun
Memang beginilah aku
Karena ada
Pecundang dalam diriku...
Malam telah larut.
Kesunyiannya menghadirkan perasaan yang mencekam. Membuatku merasa merinding
dan tak nyaman. Mobilku melesat menyusuri jalanan yang gelap dan licin. Jalanan
saat itu benar-benar sepi. Tentu saja, ini sudah terlalu larut untuk seseorang
berkeliaran di luar rumah.
Sore tadi hujan deras
mengguyur bumi. Menyisakan malam yang dingin dan basah. Bibirku bersenandung
mengikuti lagu dari radio yang sedari tadi menemani perjalananku. Setidaknya
itu membuat tubuhku sedikit hangat dan mengusir kengerian di hatiku.
Ku percepat laju mobilku.
Ingin secepatnya sampai di rumah. Ingin segera meringkuk di kasurku yang
hangat. Dan lagi, aku juga tak mau ayah marah karena aku pulang terlalu larut.
Aku ingat terakhir kali ayah marah padaku. Ia menghukumnku dengan melarangku
keluar rumah selama 1 bulan. Kecuali sekolah dan les, tentunya. Dan kuakui itu
sungguh-sungguh tak mengenakkan.
Aku terlalu sibuk dengan
pikiranku, sehingga tak menyadari seseorang tengah menyeberang. Begitu dekat.
Aku tahu tak kan sempat menghentikan mobilku saat ini. Tapi tetap ku injak juga
remku. Menimbulkan suara berdecit tajam.
Aku memejamkan mataku.
Terlalu takut untuk melihat kejadian selanjutnya. Tanganku tak juga berhenti
gemetaran. Namun aku dapat mendengar dengan jelas suara berdebam keras dan
jerit pilu yang membuatku bergidik.
***
Aku tersentak. Terjaga
dari mimpiku. Entah sejak kapan keringat dingin mulai membasahi tubuhku.
Wajah itu, darah itu.
Terasa jelas tergambar di otakku. Aku akan sangat bersyukur jika itu hanya
sebuah mimpi. Dan ketika aku bangun semua akan usai. Namun itu kenyataan.
Begitu nyata dan terjadi padaku.
Aku menuruni tempat
tidur. Memasuki kamar mandi dan membasuh mukaku. Kurasakan kesejukan menyusupi
kulit ketika air dingin menerpa wajahku. Aku benar-benar berharap air itu dapat
mengguyur dan membawa pergi noda di dalam diriku, ketakutanku dan rasa bersalahku.
Aku menatap pantulan
wajahku di cermin. Masih sama seperti ketika terakhir kali aku melihatnya. Tapi
kini aku merasa diriku benar-benar kotor dan hina.
”kamu pembunuh, Riana!
Pembunuh!”
Entah bayangan diriku di
cermin ataukah hanya perasaanku saja, aku mendengar suara menggema di kepalaku.
Begitu jelas, menuduhku.
”Bukan! Aku bukan
pembunuh!” aku mencoba membela diriku. Tak jelas berkata pada siapa.
”Iya, kamu pembunuh!
Pembunuh yang melarikan diri. Pengecut!” suara itu kembali menghujatku.
” Tidak! Tidak! Aku tidak
sengaja. Orang itu yang melompat ke arah mobilku. Aku bukan pembunuh! Bukan!”
aku terus berteriak. Berharap akan ada seseorang yang mendengar dan membenarkan
perkataanku.
***
Aku menuruni tangga
dengan cepat. Menuju ruang makan. Tempat dimana kedua orangtuaku tengah
menunggu, seperti biasanya.
”Pagi Ayah, Ibu!” sapaku
tak semangat. Terus terang aku masih merasa sedikit mengantuk. Karena aku tak
jua dapat memejamkan mataku kembali sejak terjaga dari mimpi itu.
Aku mencoba bersikap baik-baik
saja di hadapan orangtuaku. Aku tak ingin mereka mengetahui kejadian tadi
malam. Memang aku telah membersihkan mobilku dari percikan darah semalam. Tapi
seberapapun coba kupungkiri, aku tetap merasa gugup. Walau bagaimanapun juga
aku kini tengah duduk berhadapan dengan seorang polisi yang tak lain adalah
ayahku sendiri.
”Kau baik-baik saja,
Riana?” tanya ibu yang agak aneh melihatku tingkahku yang tak biasa.
”Tidak apa-apa, Ibu. Aku
hanya sedikit gugup menghadapi ulangan hari ini.”
”Makanya, kalo pulang
jangan terlalu malam. Kau tahu, tadi malam ada kasus tabrak lari di jalan
Veteran.” ucap ayah.
Aku tersedak. Nasi yang
sempat ku makan nyaris keluar kembali.
”Aduh, Riana. Kalau makan
pelan-pelan, dong!” ibu menyodorkan segelas minuman yang langsung kutenggak
demi meredakan batuk-batukku.
”Apa orang yang ditabrak
itu baik-baik saja, yah?” tanyaku tanpa mampu menutupi suaraku yang bergetar.
Sejenak ayah terdiam. Membuatku semakin tak
tenang. Kemudian ia menjawab pelan, “Dia tewas. Meninggalkan istri
dan tiga orang anak. Kasihan, padahal mereka bukan orang yang berada.”
Ucapan ayah membuatku
semakin miris. Aku tahu, mustahil selamat dengan tabrakan keras seperti tadi
malam. aku menggigit bibir bawahku. walaupun secara tak langsung, ayah baru
saja mengatakan bahwa penabrak itu sangat keji. Andai ayah dan ibu tahu itu
adalah aku. Aku tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi.
”Apa ada saksi dalam
tabrak lari itu, Yah?” aku kembali bertanya. Agak takut dan gugup.
”Sejauh ini tidak ada.
Karena kejadiannya malam hari, dan jalan itu juga sepi. Itulah yang membuat
kami kesulitan mencari pelakunya.”
Mungkin aku terdengar
jahat. Tapi jujur, aku merasa lega mendengarnya.
***
Aku tercenung menatap wanita yang tengah berkutat dengan
barang dagangannya. Ia nampak letih dan sayu. Lingkaran hitam menghiasi
wajahnya. Aku yakin, umurnya tak setua kelihatannya.
Aku tahu, tak seharusnya
aku datang ke sini. Hadir di hadapan orang yang suaminya telah aku tabrak
sampai mati.
Sebenarnya aku ingin
melupakan semuanya dan berpura-pura tak pernah terjadi apa-apa. Toh tak ada
seorang pun yang tahu. Namun rasa bersalah terus menggelitiki hatiku dan
membuatku datang kemari. Tentu saja setelah aku mengorek informasi dari ayah,
sehingga aku tahu tempat ini. Setidaknya aku ingin memastikan keadaan mereka
setelah kematian Pak Pardi., orang yang telah aku tabrak itu.
Bu Pardi tersenyum ketika
menyadari kehadiranku. ”Rujak, Neng?” ia menawarkan.
”Iya.” ucapku spontan.
Aku tak mau membuatnya kecewa. Walaupun sebenarnya, tanpa ia tahu aku telah
membuatnya sangat kecewa.
Aku duduk di bangku kayu
yang telah usang. Memandang anak-anak yang tengah berlarian di tanah lapang.
Dalam hatiku bertanya, di antara mereka mana yang merupakan anak pak Pardi.
”Ini Neng, Rujaknya.”
”Iya, Bu. Terimakasih.”
aku menerima rujak yang disodorkan oleh bu Pardi.
”Sudah lama jualan rujak,
Bu?” tanyaku sembari melahap rujak di tanganku. Ku rasakan pedas merayapi
lidahku. Membuat mataku sedikit berair.
”Baru saja kok, Neng.
Dulunya saya hanya buruh cuci. Tapi ketika suami saya meninggal, saya berpikir
untuk berjualan saja. Nggak cukup Neng, memenuhi kebutuhan dari hasil nyuci.”
ujar bu Pardi tanpa tedeng aling-aling. Sedikit kesedihan terbersit dalam nada
suaranya.
Aku terdiam. Perasaan
bersalah semakin menghinggapi jiwaku.
Aku meletakkan piring di
meja. Tak berminat lagi menyantap rujak itu. Aku merogoh uang lima puluh ribuan
dari sakuku dan menyerahkannya pada bu Pardi.
”Aduh, Neng. Belum ada
kembaliannya.” Bu Pardi tampak bingung.
”Nggak usah, Bu. Ambil
saja.”
Bu pardi menggeleng.
”Jangan, Neng. Saya nggak berani”
”Nggak apa-apa, Bu. Saya
ikhlas, kok.” aku berusaha membujuknya. Sejenak kulihat keraguan di mata bu
Pardi. Sekali lagi ia melihat wajahku.
”Terimakasih banyak ya,
Neng” ucapnya kemudian. Sempat kutemukan binar dalam matanya.
Aku mengangguk lemah.
Andai saja ia tahu bahwa apa yang kuberikan tak sebanding dengan apa yang telah
kulakukan.
***
Untuk kesekian kalinya
aku duduk di bangku ini. Menikmati rujak yang sama. Sejujurnya aku tak suka
begini. Harus selalu merasa ketakutan setiap kali melihat wajah bu Pardi. Takut
jika ia akan tahu siapa aku sebenarnya. Tapi tanpa aku sadari, kakiku selalu
melangkah kemari seusai sekolah.
”Apa Ibu marah pada orang
yang telah menabrak suami Ibu?” tanyaku hati-hatiku. Bukannya bermaksud
mengorek luka lama. Hanya sekedar ingin tahu.
Bu Pardi menghentikan
aktivitasnya. Namun tak langsung menjawab. Lama ia hanya terdiam. Entah apa
yang ia pikirkan.
”Awalnya saya memang merasa
sangat kecewa. Mengapa ini semua harus terjadi pada keluarga kami. Apalagi
sampai saat ini penabrak Mas Pardi belum
juga ditemukan. Tapi lama-lama, saya pikir ini sudah takdir. Mungkin memang
seperti ini jalannya Mas Pardi kembali pada Gusti Allah. Anggap saja si
penabrak itu sebagai jembatan. Tak ada yang perlu dipersalahkan. Ini sudah
takdir yang MahaAgung.”
Aku menghela nafas. Salut
aku. Betapa lapangnya hati Bu Pardi. Ia dapat menerima ini semua dengan begitu
tabah.
Tapi bukannya merasa
lega, aku malah semakin merasa bersalah. Ya Tuhan, apa yang harus ku perbuat?
***
Bu Pardi menatapku lekat.
Wajah yang sama seperti yang selalu kutemui, sorot mata yang sama pula. Hanya
sekarang suasananya berbeda. Kami tak lagi berjumpa di warung rujak Bu Pardi, tapi
di sebuah Lembaga Permasyarakatan.
Ya. Aku telah mengatakan
yang sebenarnya pada ayahku. Tentu saja. Walaupun dia ayahku, tak pelak ia juga
seorang polisi. Dan kini aku harus menerima takdirku.
Setidaknya dengan begini
aku sedikit bernafas lega. Terlepas dari rasa bersalah yang terus
menggelayutiku. Meskipun itu berarti aku harus teronggok di bui yang suram dan
pengap ini. Tak mengapa. Anggap saja ini sebagai konsekuensi dari apa yang ku
perbuat.
Bu Pardi masih berdiri di
hadapanku. Tak bergeming dari posisinya. Kami berdua sama-sama membisu.
Aku sendiri tak tahu
harus berkata apa. Aku merasa malu sekali. Aku hanya menunggu reaksi bu Padi.
Aku rela jika ia memang ingin mencelaku, memakiku. Karena ia memang berhak
melakukannya dan aku memang pantas menerima itu semua.
Bibir bu Pardi mulai terkuak. Ia menatapku dalam.
”Kamu hebat, Nak” ucapnya
kemudian.
Aku sedikit terkejut.
Perkataan bu Pardi tak seperti yang ku sangka. Walaupun mungkin tak pantas,
namun bolehkah aku menganggap itu sebagai suatu pujian?
Rumahku tercinta, Juni 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar